1. Supervisi Manajerial
A. Pengertian Supervisi Manajerial Supervisi adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan dalam rangka membantu kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya guna meningkatkan mutu dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Supervisi ditujukan pada dua aspek yakni: manajerial dan akademik. Supervisi manajerial menitikberatkan pada pengamatan pada aspek-aspek pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran. Sementara supervisi akademik menitikberatkan pada pengamatan supervisor terhadap kegiatan akademik, berupa pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Dalam Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/ Madrasah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009:20) dinyatakan bahwa supervisi manajerial adalah supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan dan sumberdaya lainnya. Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas sekolah/madrasah berperan sebagai: (1) kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah, (2) asesor dalam mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi sekolah, (3) pusat informasi pengembangan mutu sekolah, dan (4) evaluator terhadap pemaknaan hasil pengawasan. B. Prinsip-Prinsip Supervisi Manajerial Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam supervisi manajerial, adalah:
Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Kepala-kepala sekolah yang diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu/bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi. 2. Supervisi Akademik Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran Glickman (1981). Sementara itu, Daresh (1989) menyebutkan bahwa supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran sebagai suatu proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi akademik. Apabila dikatakan bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu dikembangkan dan cara mengembangkannya. Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi praktis penilaian unjuk kerja guru dalam supervisi akademik adalah melihat realita kondisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya: Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas? Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid di dalam kelas? Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang berarti bagi guru dan murid? Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam mencapai tujuan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh informasi mengenai kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Namun satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa setelah melakukan penilaian unjuk kerja guru tidak berarti selesailah tugas atau kegiatan supervisi akademik, melainkan harus dilanjutkan dengan perancangan dan pelaksanaan pengembangan kemampuannya. Dengan demikian, melalui supervisi akademik guru akan semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya. Alfonso, Firth, dan Neville (1981) menegaskan “Instructional supervision is here in defined as: behavior officially designed by the organization that directly affects teacher behavior in such a way to facilitate pupil learning and achieve the goals of organization”. Menurut Alfonso, Firth, dan Neville, ada tiga konsep pokok (kunci) dalam pengertian supervisi akademik.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip supervisi akademik, akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik. Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok (team effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. Pembahasannya semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu harus menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan dan guru sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan, keseluruhan anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya sebagai prakarsa, dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor merupakan bagian darinya. Semua ini merupakan prinsip-prinsip supervisi akademik modern yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi akademik di sekolah-sekolah. Selain tersebut di atas, berikut ini ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh supervisor dalam melaksanakan supervisi akademik, yaitu:
Supervisi akademik yang baik harus mampu membuat guru semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Oleh karena itu, supervisi akademik harus menyentuh pada pengembangan seluruh kompetensi guru. Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus menjadi perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya, maupun penilaiannya. Pertama, apa yang disebut dengan substantive aspects of professional development (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek substantif). Aspek ini menunjuk pada kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek ini menunjuk pada kompetensi yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan sokongan terhadap keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga berkaitan dengan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada bidang studi yang diajarkannya. Kedua, apa yang disebut dengan professional development competency areas (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek kompetensi). Aspek ini menunjuk pada luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak berbeda dengan kasus profesional lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana mengerjakan (know how to do) tugas-tugasnya. Ia harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana merumuskan tujuan akademik, murid-muridnya, materi pelajaran, dan teknik akademik. Tetapi, mengetahui dan memahami keempat aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang guru harus mampu menerapkan pengetahuan dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia harus bisa mengerjakan (can do). Selanjutnya, seorang guru harus mau mengerjakan (will do) tugas-tugas berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru, apabila ia tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya. Akhirnya seorang guru harus mau mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya sendiri. 3. Supervisi Klinis untuk Perbaikan Pembelajaran 1. Pengertian supervisi klinis Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran. 2. Perlunya supervisi klinis. Beberapa alasan mengapa supervisi klinis diperlukan, diantaranya:
Secara umum tujuan supervisi klinis untuk :
Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut:
2) Keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama bahan pembelajaran, 3) Keterampilan dalam proses pembelajaran.
2) Peterampilan penampilan pembelajaran yang memiliki arti bagi keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran dan memungkinkan untuk dilaksanakan, dan 3) Didasarkan atas kesepakatan bersama dan pengalaman masa lampau. 5. Prinsip-prinsip dalam supervisi klinis Prinsip yang menjadi landasan pelaksanaan supervisi klinis, adalah:
Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri dari tiga tahap berikut :
2) Mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, waktu, media, evaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang terkait dengan pembelajaran, 3) Menentukan fokus obsevasi, 4) Menentukan alat bantu (instrumen) observasi, dan 5) Menentukan teknik pelaksanaan obeservasi.
2) Tidak mengganggu proses pembelajaran, 3) Tidak bersifat menilai, 4) Mencatat dan merekam hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan 5) Menentukan teknik pelaksanaan observasi.
2) Mengulas kembali tujuan pembelajaran; 3) Mengulas kembali hal-hal yang telah disepakati bersama, 4) Mengkaji data hasil pengamatan, 5) Tidak bersifat menyalahkan, 6) Data hasil pengamatan tidak disebarluaskan, 7) Kensimpulan, 8) Hindari saran secara langsung, dan 9) Merumuskan kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan. Keberhasilan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak hanya ditentukan oleh keahlian dan ketrampilan para petugas bimbingan dan konseling itu sendiri, namun juga sangat ditentukan oleh komitmen dan keterampilan seluruh staf sekolah, terutama dari kepala sekolah sebagai administrator dan supervisor.
Sebagai administrator, kepala sekolah bertanggungjawab terhadap kelancaran pelaksanaan seluruh program sekolah, khususnya program layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang dipimpinnya. Karena posisinya yang sentral, kepala sekolah adalah orang yang paling berpengaruh dalam pengembangan atau peningkatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolahnya. Sebagai supervisor, kepala sekolah bertanggung jawab dalam melaksanakan program-program penilaian, penelitian dan perbaikan atau peningkatan layanan bimbingan dan konseling. Ia membantu mengembangkan kebijakan dan prosedur-prosedur bagi pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolahnya. Secara lebih terperinci, Dinmeyer dan Caldwell (dalam Kusmintardjo, 1992) menguraikan peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, sebagai berikut: 1. Memberikan support administratif, memberikan dorongan dan pimpinan untuk seluruh program bimbingan dan konseling; 2. Menentukan staf yang memadai, baik segi profesinya maupun jumlahnya menurut keperluannya; 3. Ikut serta dalam menetapkan dan menjelaskan peranan anggota-anggota stafnya; 4. Mendelegasikan tanggung jawab kepada “guidance specialist” atau konselor dalam hal pengembangan program bimbingan dan konseling; 5. Memperkenalkan peranan para konselor kepada guru-guru, murid-murid, orang tua murid, dan masyarakat melalui rapat guru, rapat sekolah, rapat orang tua murid atau dalam bulletin-buletin bimbingan dan konseling; 6. Berusaha membentuk dan menjalin hubungan kerja yang kooperatif dan saling membantu antara para konselor, guru dan pihak lain yang berkepentingan dengan layanan bimbingan dan konseling; 7. Menyediakan fasilitas dan material yang cukup untuk pelaksanaan bimbingan dan konseling; 8. Memberikan dorongan untuk pengembangan lingkungan yang dapat meningkatkan hubungan antar manusia untuk menggalang proses bimbingan dan konseling yang efektif (dalam hal ini berarti kepala sekolah hendaknya menyadari bahwa bimbingan dan konseling terjadi dalam lingkungan secara global, termasuk hubungan antara staf dan suasana dalam kelas); 9. Memberikan penjelasan kepada semua staf tentang program bimbingan dan konseling dan penyelenggaraan “in-service education” bagi seluruh staf sekolah; 10. Memberikan dorongan dan semangat dalam hal pengembangan dan penggunaan waktu belajar untuk pengalaman-pengalaman bimbingan dan konseling, baik klasikal, kelompok maupun individual; 11. Penanggung jawab dan pemegang disiplin di sekolah dengan memberdayakan para konselor dalam mengembangkan tingkah laku siswa, namun bukan sebagai penegak disiplin. Sementara itu, Allen dan Christensen (dalam Kusmintardjo, 1992), mengemukakan peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai berikut: 1. Memfasilitasi keperluan penyelenggaraan Bimbingan dan konseling; 2. Memilih dan menentukan para konselor; 3. Mengembangkan sikap-sikap yang favorable di antara para guru, murid, dan orang tua murid/masyarakat terhadap program bimbingan dan konseling; 4. Mengadakan pembagian tugas untuk keperluan bimbingan dan konseling, misalnya para petugas untuk membina perpustakaan bimbingan, para petugas penyelenggara testing, dan sebagainya; 5. Menyusun rencana untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan infomasi tentang pekerjaan/jabatan; 6. Merencanakan waktu (jadwal) untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling; 7. Merencanakan program untuk mewawancarai murid dengan tidak mengganggu jalannya jadwal pelajaran sehari-sehari. Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tugas kepala sekolah dalam pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah ádalah sebagai berikut: 1. Staff selection. Memilih staf yang mempunyai kepribadian dan pendidikan yang cocok untuk melaksanakan tugasnya. Termasuk disini mengadakan analisa untuk mengetahui apakah diantara staf yang ada terdapat orang yang sanggup melakukan tugas yang lebih spesialis. 2. Description of staff roles. Menentukan tugas dan peranan dari anggota staf, dan membagi tanggung jawab. Untuk menentukan tugas-tugas ini kepala sekolah dapat meminta bantuan kepada anggota staf yang lain. 3. Time and facilities. Mengusahakan dan mengalokasikan dana, waktu dan fasilitas untuk kepentingan program bimbingan dan konseling di sekolahnya. 4. Interpretation of program. Menginterpretasikan program bimbingan dan konseling kepada murid-murid yang diberi pelayanan, kepada masyarakat yang membantu program bimbingan dan konseling. Dalam menginterpretasikan program bimbingan dan konseling mungkin perlu bantuan dari staf bimbingan dan konseling, tetapi tanggung jawab terletak pada kepala sekolah sebagai administrator. (R.N. Hatch dan B. Stefflre, dalam Kusmintardjo, 1992) A. Tugas Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor
Guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas, tanggungjawab, wewenang dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik. Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor terkait dengan pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian peserta didik di sekolah/madrasah. Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor yaitu membantu peserta didik dalam: 1. Mengembangkan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat. 2. Mengembangkan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat. 3. Mengembangkan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri. 4. Mengembangkan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir. Jenis layanan bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut: 1. Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru. 2. Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan. 3. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler. 4. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat. 5. Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. 6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. 7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. 8. Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik 9. Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling tersebut didukung dengan: 1. Aplikasi instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun nontes. 2. Himpunan data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia. 3. Konferensi kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup. 4. Kunjungan rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua atau keluarganya. 5. Tampilan kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan. 6. Alih tangan kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya. Beban Kerja Minimum Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor Beban kerja guru bimbingan dan konseling/konselor adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik dan paling banyak 250 (dua ratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan yang dilaksanakan dalam bentuk layanan tatap muka terjadwal di kelas untuk layanan klasikal dan/atau di luar kelas untuk layanan perorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan yang memerlukan. Sedangkan beban kerja guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah membimbing 40 (empat puluh) peserta didik dan guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah/madrasah membimbing 80 (delapan puluh) peserta B. Tugas Pengawas Bimbingan dan Konseling Lingkup kerja pengawas bimbingan dan konseling untuk melaksanakan tugas pokok diatur sebagai berikut: 1. Ekuivalensi kegiatan kerja pengawas bimbingan dan konseling terhadap 24 (dua puluh empat) jam tatap muka menggunakan pendekatan jumlah guru yang dibina di satu atau beberapa sekolah pada jenjang pendidikan yang sama atau jenjang pendidikan yang berbeda. 2. Jumlah guru yang harus dibina untuk pengawas bimbingan dan konseling paling sedikit 40 (empat puluh) dan paling banyak 60 guru BK. 3. Uraian lingkup kerja pengawas bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut. a. Penyusunan Program Pengawasan Bimbingan dan Konseling
1) program pengawasan tahunan, 2) program pengawasan semester, dan 3) rencana kepengawasan akademik (RKA).
Supervisi Konseling
A. Pengertian Supervisi Konseling. Supervisi konseling adalah sebuah kegiatan untuk mendukung profesionalisme konselor di sekolah. Supervisi konseling juga merupakan suatu proses pembelajaran untuk memberdayakan konselor agar dapat mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya, sehingga dapat bekerja dengan menampilkan kemampuan terbaiknya, memiliki motivasi dan tanggung jawab yang tinggi, dan pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil pelayananannya terhadap klien/konseli. Selain itu, supervisi konseling juga dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi klien/konseli dan konselor itu sendiri dalam menghadapi berbagai situasi konseling yang amat kompleks. B. Keperluan Supervisi Konseling Konseling merupakan interaksi antarpribadi yang unik antara konselor dan klien/konseli, sebuah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan hal-hal yang sangat pribadi, dengan segala kompleksitasnya :
C. Tujuan Supervisi Konseling Supervisi Konseling memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
Supervisi Konseling memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
Dalam supervisi konseling, peran supervisor mencakup: a. Capacity-Builder
b. Challenger
e. Mediator/ Facilitator
f. Learner
F. Peran Konselor (Supervisee) dalam Supervisi Konseling 1. Active Participant
3. Guide
A. Latar Belakang Kita dapat membagi kelompok masyarakat dalam tiga golongan besar: negara (state), pasar (market) dan masyarakat sipil (civil society). Masing-masing golongan memiliki visi tentang masa depan masyarakat (kehidupan) sesuai dengan nilai yang dianutnya. Dari ketiga kelompok di atas negara dan pasar memainkan peranan yang relatif dominan dalam menentukan masa depan masyarakat, sementara kelompok ketiga kurang dominan. Faktor yang menentukan adalah kemampuan dalam merumuskan visi dan misi yang dimilikinya, atau kemampuan menyusun perencanaan strategis (strategic planning). Perencanaan strategis, perkembangan sekarang ini telah menjadi mode dalam perencanaan, tidak hanya pada dunia militer (sebagai pengguna pemula), akan tetapi telah dipakai oleh para pelaku bisnis dan pemerintahan. Tidak kalah pentingnya bagi organisasi sosial, keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat, perencanaan strategis juga akan sangat bermanfaat dalam upaya memainkan peran dan memberikan kontribusi bagi penentuan masa depan masyarakat. Strategis berasal dari kata Yunani strategos, yang berarti “general set of maneuvers carried out to overcome a enemy during combat”. Penerapan perencanaan strategis pada dunia bisnis dan pemerintahan, didasari atas adanya tuntutun bagi setiap organisasi untuk memelihara agar tetap berada pada posisi yang strategis di tengah situasi lingkungan yang terus-menerus berubah dan penuh dengan ketidakpastian. Kemampuan membaca peluang dan memahami ancaman eksternal, serta mengetahui kekuatan dan kelemahan internal merupakan prasarat bagi setiap organisasi dalam menjaga posisi strategisnya agar tetap eksis dan terus berkembang merespon tuntutan kebutuhan yang ada. Jika pada perencanaan paradigma lama (perencanaan jangka panjang) suatu organisasi akan berangkat dari penetapan tujuan jangka panjang, dan berdasar tujuan tersebut segenap daya dikelola untuk mencapainya, maka dalam perencanaan strategis memiliki logika yang berbeda. Dalam perencanaan strategis kita berangkat dari mandat, misi dan nilai-nilai yang menjadi dasar organisasi untuk berkembang dan menentukan visi organisasi di masa depan. Lembaga pendidikan, terlebih lembaga pendidikan menengah kejuruan, yang bertugas menyelenggarakan pendidikan kejuruan dalam rangka menghasilkan tamatan yang siap kerja pada suatu bidang keahlian tertentu, dituntut untuk secara terus menerus mengikuti tuntutan kebutuhan yang terus berkembang dan berubah, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Artinya lembaga pendidikan menengah kejuruan relatif lebih dinamis dan diversifikatif dibanding pendidikan menengah umum. Oleh karenanya para pengelola pendidikan menengah kejuruan harus cerdas, proaktif, responsive, adaptif dan produktif. A. Peran Perencanaan Strategis Apakah yang dimaksud dengan perencanaan strategis? Olsen dan Eadie (1982, hal 4), mendefinisikan perencanaan strategis sebagai sebuah usaha yang didisiplinkan untuk menghasilkan keputusan-keputusan fundamental dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi suatu organisasi, apa yang dilakukan organisasi dan mengapa organisasi melakukan tindakan tersebut. Untuk menghasilkan perencanaan strategis yang terbaik, organisasi harus mampu mengumpulkan informasi secara luas, eksplorasi alternatif dan menekankan implikasi masa depan atas keputusan yang diambil sekarang. Perencanaan strategis dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasi kepentingan dan nilai yang berbeda, dan membantu membuat keputusan secara tertib dan berhasil dalam mengimplimentasikan keputusan. Dalam penerapannya perencanaan strategis dapat digunakan pada bidang-bidang: 1. Lembaga publik, departemen, atau devisi penting dalam suatu organisasi; 2. Pemerintahan, baik dari tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota; 3. Organisasi nirlaba yang memberikan pelayanan publik; 4. Fungsi-fungsi khusus yang menjembatani kepentingan pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat, seperti kesehatan, transportasi maupun pendidikan; 5. Orgnisasi-organisasi kemasyarakatan (NGO). Perbedaan antara perencanaan strategis dengan perencanaan jangka panjang yang sementara kita kenal, di antaranya: Pertama, kalau perencanaan jangka panjang menfokuskan perbaikan/peningkatan kinerja organisasi melalui pencapaian sasaran atau tujuan dan menjabarkannya ke dalam program dan anggaran, sedang perencanaan strategis lebih menfokuskan kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu. Kedua, dalam perencanaan jangka panjang, para perencana cenderung menganggap bahwa kecenderungan masa kini akan berlanjut hingga masa depan, sedang perencana strategis memperkirakan kecenderungan baru, diskontinuitas dan pelbagai kejutan perubahan yang mungkin akan terjadi. Oleh karenanya dalam perencanaan strategis, penilaian terhadap lingkungan eksternal dan internal sangat ditekankan. Ketiga, para perencana strategis lebih baik dalam merumuskan visi yang diidealkan bagi organisasi, yang kita sebut sebagai “Visi Keberhasilan” (Taylor, 1984) dan mengusahakan bagaimana mencapinya. Sedang dalam perencanaan jangka panjang keadaan masa depan yang diinginkan cenderung merupakan ekstrapolasi garis lurus mengenai keadaan sekarang, yang dituangkan dalam pernyataan tujuan yang merupakan proyeksi atas kecenderungan yang akan terjadi. Keempat, para perencana jangka panjang cenderung mengasumsikan masa depan yang paling mungkin, dan kemudian mundur guna merencanakan urutan keputusan dan tindakan yang diperlukan untuk menjangkau masa depan yang diinginkan. Sedang perencanaan strategis lebih banyak berorientasi pada tindakan (action oriented). Perencana strategis biasanya mempertimbangkan suatu masa depan yang mungkin dan menfokuskan pada implikasi keputusan dan tindakan masa sekarang sehubungan dengan rentang tersebut. B. Manfaat Perencanaan Strategis Banyak alasan yang dikemukakan oleh suatu organisasi sehingga menyelenggarakan perencanaan strategis. Organisasi kita menghadapi banyak tuntutan yang saling berbenturan, maka kita memerlukan suatu proses untuk menetapkan prioritas. Kebangkrutan suatu organisasi dapat dihindari apabila kita mampu memikirkan ulang cara kita menjalankan organisasi. Organisasi kita dikelilingi banyak kompetitor yang kita tidak mampu mencegahnya agar tidak tumbuh, oleh karenanya agar kita tetap eksis dan terus berkembang kita harus mempunyai strategi yang jitu memenangkan kompetisi. Organisasi kita pada bagian ‘X’ mengalami sakit, kita harus dapat menjadi dokter yang mampu melakukan diognisis secara tepat dan memberikan obat yang menyembuhkan, dsb. Dari berbagai gambaran persoalan yang mungkin dihadapi organisasi kita seperti tersebut di atas, maka perencanaan strategis diyakini dapat membantu organisasi: 1. Berfikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif; 2. Memperjelas arah masa depan organisasi 3. Menciptakan prioritas diantara keterbatas sumber daya dan tindakan kita; 4. Membuat keputusan sekarang dengan mempertimbangkan konsekunsi masa depan; 5. Mengembangkan landasan yang koheren dan kokoh bagi pengambilan keputusan; 6. Menggunakan keleluasaan secara maksimum dalam bidang-bidang yang berada di bawah kontrol organisasi; 7. Membuat keputusan yang melintasi tingkat dan fungsi; 8. Memecahkan masalah utama organisasi; 9. Memperbaiki kinerja organisasi; 10. Menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif 11. Membangun kerja kelompok dan keahlian. DELAPAN LANGKAH PENDEKATAN PERENCANAAN STRATEGIS Kata Kunci : Perencanaan strategis hanya akan bermanfaat apabila melalui proses perencanaan strategis ini mampu membentuk kemampuan berfikir dan bertindak secara strategis bagi orang-orang penting pengambil keputusan dalam suatu organisasi. Perencanaan strategis bukanlah tujuan dalam perencanaan strategis itu sendiri, karena perencanaan strategis hanyalah merupakan kumpulan konsep untuk membantu para pemimpin membuat keputusan penting dan melakukan tindakan penting bagi keberlangsungan dan kejayaan organisasi. Delapan Langkah Perencanaan Strategis: 1. Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis; 2. Mengidentifikasi mandat organisasi; 3. Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi; 4. Menilai lingkungan eksternal: peluang dan ancaman; 5. Menilai lingkungan internal: kekuatan dan kelemahan; 6. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi; 7. Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu; 8. Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan. Langkah 1: Memprakarsai dan menyepakati suatu Proses Perencanaan Strategis Pada langkah ini merupakan langkah menegosiasikan kesepakatan untuk menyelenggarakan perencanaan strategis dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinions leaders) dan para stakeholder baik internal maupun eksternal. Dukungan dan komitmen mereka merupakan hal yang sangat penting jika perencanaan strategis ingin berhasil. Keterlibatan orang-orang penting di luar organisasi adakalanya sangat krusial jika dalam implementasinya melibatkan banyak pihak di luar organisasi. Dalam tahap inilah dibentuk kelompok pemrakarsa, yang salah satu tugasnya menetapkan secara tepat siapa saja yang tergolong orang-orang penting pembuat keputusan. Tugas berikutnya adalah menetapkan orang, kelompok, unit atau organisasi manakah yang harus dilibatkan dalam penyusunan perencanaan strategis ini. Selanjutnya dalam kesepakatan ini harus mencakup: maksud upaya perencanaan; langkah-langkah yang dilalui dalam proses; bentuk dan jadwal pembuatan laporan; peran, fungsi dan keanggotaan suatu kelompok atau komite yang berwenang mengawasi upaya tersebut; peran, fungsi dan keanggotaan tim perencana strategis; dan komitmen sumber daya yang diperlukan bagi keberhasilan perencanaan strategis. Langkah 2: Memperjelas Mandat Organisasi Mandat formal dan mandat informal yang berada pada suatu organisasi merupakan keharusan yang dihadapi. Mandat formal adalah tugas dan fungsi dari suatu organisasi yang tercantum dalam undang-undang, peraturan-peraturan, piagam, pasal-pasal ataupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dalam surat keputusan. Mandat informal adalah norma-norma yang menjadi pegangan beroperasinya organisasi yang tidak kalah mengikatnya. Langkah 3: Memperjelas Misi dan Nilai-nilai Misi organisasi, yang berkaitan erat dengan mandat yang harus dilaksanakan, merupakan deskripsi tentang apa-apa yang harus dilakukan dalam rangka mengemban mandat organisasi. Rumusan misi harus dapat menjawab enam pertanyaan: 1. Siapakah kita ini sebagai organisasi (komunitas)? 2. Secara umum, kebutuhan dasar sosial dan atau politik apa yang akan organisasi kita penuhi? 3. Secara umum, bagaimana kita bekerja untuk mengantisipasi dan merespon kebutuhan-kebutuhan di atas? 4. Bagaimana kita harus memberikan respon terhadap stakeholder kunci? 5. Apa filosofi dan nilai-nilai inti kita? (menentukan integritas organisasi) 6. Apa yang membuat organisasi kita unik/beda dengan organisasi yang lain? Misi harus dirumuskan melalui diskusi yang panjang dengan melibatkan para stakeholder, sehingga diperoleh rumusan yang komprehensif. Nilai-nilai dimaksud dalam hal ini adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta dipelihara yang menjadi spirit organisasi dalam melaksanakan fungsinya, misal kejujuran, demokratis, keterbukaan/transparansi, tanggung jawab, dsb. Langkah 4: Menilai Lingkungan Eksternal Menilai lingkungan eksternal adalah tindakan mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengindetifikasi peluang dan ancaman. Lingkungan eksternal merupakan faktor-faktor yang diluar kontrol organisasi, meliputi kecenderungan politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi (PEST), kelompok masyarakat yang harus dilayani, dan pesaing (competitor). Anggota-anggota majelis sekolah yang berasal dari luar sekolah, misal asosiasi profesi, praktisi industri pada umumnya lebih tajam dalam menilai faktor eksternal. Langkah 5: Minilai Lingkungan Internal Menilai lingkungan internal adalah upaya mengenali kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi. Kita dapat mengenalinya dari sumber daya (inputs), strategi yang dijalankan sekarang (process), dan kinerja (outputs). Langkah 6: Mengidentifikasi Isu Strategis Mengidentifikasi isu merupakan langkah yang sangat penting guna mengetahui persoalan kritis yang sesungguhnya dihadapi organisasi. Dengan mempertimbangkan mandat, misi dan nilai, kekuatan dan kelemahan internal, peluang dan ancaman eksternal akan dapat kita identifikasi persoalan kritis organisasi. Pernyataan isu strategis harus mengandung tiga unsur: Pertama, isu harus disajikan dengan ringkas, cukup satu paragrap dan disajikan dalam kalimat tanya. Kedua, faktor yang menyebabkan sesuatu isu menjadi persoalan kebijakan penting harus didaftar, yang mencakup aspek mandat, misi, nilai-nilai, kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman. Ketiga, konsekuensi kegagalan dalam menghadapi isu harus merupakan taruhan hidup dan matinya organisasi. Ada tiga pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis: pendekatan langsung (direct approach), pendekatan sasaran (goals approach) dan pendekatan visi keberhasilan (vision of success). Pendekatan langsung, merupakan proses mengidentifikasi isu dengan cara meruntut dari uraian mandat, misi dan analisis SWOT, sehingga dirumuskan isu strategis organisasi. Pendekatan ini akan sangat baik apabila tidak ada kesepakatan sasaran sebelumnya, tidak ada visi keberhasilan dan tidak ada otoritas hirarkhi yang memaksakan sasaran. Pendekatan ini juga amat baik untuk menghadapi lingkungan yang sangat bergolak. Pendekatan sasaran, lebih sejalan dengan teori perencanaan konvensional, yang menetapkan bahwa organisasi harus menetapkan sasaran dan tujuan bagi dirinya, kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan visi keberhasilan, dalam pendekatan ini organisasi mengembangkan suatu gambar yang terbaik atau ideal mengenai dirinya sendiri di masa depan sebagai organisasi yang sangat berhasil mewujudkan misinya. Sehingga isu strategis sebagai diskripsi tentang bagaimana organisasi harus beralih dari jalannya sekarang, menuju bagaimana organisasi akan memandang dan berjalan sesuai dengan visinya. Langkah 7: Merumuskan Strategi untuk Mengelola Isu-isu Strategi didiefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut. Strategi dapat berbeda-beda karena kerangka tingkat, fungsi dan waktu. Pengembangan strategi dimulai dengan identifikasi alternatif praktis, dan impian atau visi untuk memecahkan isu strategis. Selanjutnya, kita memerinci hambatan yang kemungkinan dihadapi untuk mencapai alternatif, impian atau visi tersebut. Setelah identifikasi alternatif, impian atau visi bersama-sama dengan hambatan tersusun, langkah berikutnya kita mengembangkan usulan pokok untuk mencapai alternatif, impian atau visi secara langsung atau tidak langsung dengan cara mengatasi hambatan. Setelah usulan utama diajukan, kemudian kita mengidentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan dalam dua hingga tiga atau empat/lima tahun mendatang. Terakhir kita menyusun program kerja yang terperinci untuk setiap tahunnya. Strategi yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria: pertama, secara teknis strategi harus dapat bekerja (dilaksanakan) untuk menghadapi isu strategis; kedua, secara politis dapat diterima oleh para stakeholder kunci; dan ketiga, strategi harus menjadi etika, moral dan hukum organisasi. Langkah 8: Menciptakan Visi Organisasi yang Efektif untuk Masa Depan Langkah terakhir dalam proses perencanaan strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu sehingga berhasil mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya. Deskripsi inilah yang disebut “Visi Keberhasilan” organisasi. Secara khusus yang termasuk dalam deskripsi ini adalah misi organisasi, strategi dasarnya, kriteria kinerjanya, beberapa aturan keputusan penting, dan standar etika yang diharapkan oleh seluruh pegawai. Visi keberhasilan harus singkat – tidak lebih dari beberapa halaman – dan memberi ilham. Orang-orang diilhami oleh visi yang jelas dan kuat yang disampaikan dengan penuh keyakinan. Jadi, visi itu menfokus kepada masa depan yang lebih baik, mendorong harapan dan impian, menarik nilai-nilai umum, menyatakan hasil yang positif, menekankan kekuatan kelompok yang bersatu, mengemukakan entusiasme dan kegembiraan. Sumber: Bryson John M.: Strategic Planning For Publik and Non Profit Organizations, San Francisco, Jossey-Bass Publisher, 1995 Dinas Pendidikan Provinisi DKI Jakarta Bidang SMK akan melaksanakan Test Online bagi guru mata pelajaran yang akan di UN kan.
Test Online bertujuan untuk memetakan kemampuan dan kompetensi Guru, sehingga akan memudahkan disdik dalam melakukan pembinaan dan pelatihan yang sesuai dengan tingkat kemampuan dari hasil test. Test akan dilaksanakan tgl 1,2,3 Desember 2011. tempat masing-masing rayon. setiap peserta harus 1. membawa Laptop 2. modem eksternal serta headset. 3. Memiliki email address 4. NUPTK layak Akreditasi Sekolah A. AKREDITASI SEKOLAH 1. Pengertian Akreditasi Sekolah Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian (asesmen) sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentuksn kelayakan dan kinerja sekolah. 2. Dasar Hukum Akreditasi Sekolah a. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 60, b. Peraturana Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 86 & 87 c. Surat Keputusan Mendiknas No. 87/U/2002. 3. Tujuan Akreditasi Sekolah a. menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan b. memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah 4. Fungsi Akreditasi Sekolah a. untuk pengetahuan, yakni dalam rangka mengetahui bagaimana kelayakan & kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu kepada baku kualitas yang dikembangkan berdasarkan indikator-indikator amalan baik sekolah, b. untuk akuntabilitas, yakni agar sekolah dapat mempertanggungjawabkan apakah layanan yang diberikan memenuhi harapan atau keinginan masyarakat, dan c. untuk kepentingan pengembangan, yakni agar sekolah dapat melakukan peningkatan kualitas atau pengembangan berdasarkan masukan dari hasil akreditasi 5. Prinsip-Prinsip Akreditasi Sekolah a. objektif, informasi objektif tentangg kelayakan dan kinerja sekolah, b. efektif, hasil akreditasi memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, c. komprehensif, meliputi berbagai aspek dan menyeluruh, d. memandirikan, sekolah dapat berupaya meningkatkan mutu dengan bercermin pada evaluasi diri, dan e. keharusan (mandatori), akreditasi dilakukan untuk setiap sekolah sesuai dengan kesiapan sekolah. 6. Karakteristik Sistem Akreditasi Sekolah a. keseimbangan fokus antara kelayakan dan kinerja sekolah, b. keseimbangan antara penilaian internal dan eksternal, dan c. keseimbangan antara penetapan formal peringkat sekolah dan umpan balik perbaikan 7. Cakupam Akreditasi Sekolah a. Lembaga satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA) dan b. Program Kejuruan/kekhususan (SDLB, SMPLB, SMALB, SMK) 8. Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah a. kurikulum dan proses belajar mengajar; b. administrasi dan manajemen sekolah; c. organisasi dan kelembagaan sekolah; d. sarana prasarana e. ketenagaan; f. pembiayaan; g. peserta didik; h. peranserta masyarakat; dan i. lingkungan dan kultur sekolah. 9. Prosedur Akreditasi Sekolah a. pengajuan permohonan akreditasi dari sekolah; b. evaluasi diri oleh sekolah; c. pengolahan hasil evaluasi diri ; d. visitasi oleh asesor; e. penetapan hasil akreditasi; f. penerbitan sertifikat dan laporan akreditasi 10. Sekolah Mempersiapkan Akreditasi Sekolah Dalam mempersiapkan akreditasi, sekolah melakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Sekolah mengajukan permohonan akreditasi kepada Badan Akreditasi Propinsi (BAP)-S/M untuk SLB, SMA, SMK dan SMP atau kepada Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota untuk TK dan SD Pengajuan akreditasi yang dilakukan oleh sekolah harus mendapat persetujuan atau rekomendasi dari Dinas Pendidikan; b. Setelah menerima instrumen evaluasi diri, sekolah perlu memahami bagaimana menggunakan instrumen dan melaksanakan evaluasi diri. Apabila belum memahami, sekolah dapat melakukan konsultasi kepada BAN-SM mengenai pelaksanaan dan penggunaan instrumen tersebut; c. Mengingat jumlah data dan insformasi yang diperlukan dalam proses evaluasi diri cukup banyak, maka sebelum pengisian instrumen evaluasi diri, perlu dilakukan pengumpulan berbagai dokumen yang diperlukan sebagai sumber data dan informasi 11. Persyaratan Sekolah agar Dapat Mengikuti Akreditasi a. memiliki surat keputusan kelembagaan (UPT); b. memiliki siswa pada semua tingkatan; c. memiliki sarana dan prasarana pendidikan; d. memiliki tenaga kependidikan; e. melaksanakan kurikulum nasional; dan f. telah menamatkan siswa. 12. Pelaksana Akreditasi Sekolah a. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), b. Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M), dan c. Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota . Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) merupakan: badan non struktural yang secara teknis bersifat independen dan profesional yang terdiri atas unsur-unsur masyarakat, organisasi penyelenggara pendidikan, perguruan tinggi, dan organisasi yang relevan..yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan, standar, sistem,dan perangkat akreditasi secara nasional. Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) berkewenangan untuk melaksanakan kegiatan akreditasi SMP, SMA, SMK dan SLB. Sedangkan, Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota berkewenangan melaksanakan akreditasi untuk TK dan SD. 13. Hasil dari Akreditasi a. Sertifikat Akreditasi Sekolah, Sertifikat Akreditasi Sekolah adalah surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan terhadap sekolah atas status dan kelayakan sekolah melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah terhadap komponen-komponen sekolah berdasarkan standar yang ditetapkan BAN-SM untuk jenjang pendidikan tertentu. b. Profil Sekolah, kekuatan dan kelemahan, dan rekomendasi. 14. Penetapan Hasil Akreditasi Laporan tim asesor yang memuat hasil visitasi, catatan verifikasi, dan rumusan saran bersama dengan hasil evaluasi diri akan diolah oleh BAN-S/M untuk menetapkan nilai akhir dan peringkat akreditasi sekolah sesuai dengan kondisi nyata di sekolah. Penetapan nilai akhir dan peringkat akreditasi dilakukan melalui rapat pleno BAN-SM sesuai dengan kewenangannya. Rapat pleno penetapan hasil akhir akreditasi harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu (50 % + 1) anggota BAN-SM Nilai akhir dan peringkat akreditasi juga dilengkapi dengan penjelasan tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen dan aspek akreditasi, termasuk saran-saran tindak lanjut bagi sekolah, Dinas Pendidikan, maupun Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka peningkatan kelayakan dan kinerja sekolah di masa mendatang. Penjelasan kualitatif dan saran-saran harus merujuk pada hasil temuan dan bersifat spesifik agar mempermudah pihak sekolah untuk melakukan pengembangan dan perbaikan internal dan pihak terkait (pemerintah daerah dan dinas pendidikan) melakukan pemberdayaan dan pembinaan lebih lanjut terhadap sekolah. 15. Masa Berlaku Akreditasi Masa berlaku akreditasi selama 4 tahun. Permohonan Akreditasi Ulang 6 bulan sebelum masa berlaku habis. Akreditasi Ulang untuk perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak ditetapkan. 16. Pengaduan atas Hasil Akreditasi Ketidakpuasan terhadap hasil akreditasi dapat disampaikan kepada BAN-S/M dengan tembusan BAP-S/M /UPA Kabupaten/Kota setempat dan BAN-S/M melakukan verifikasi dan evaluasi, menyampaikan hasilnya kepada BAP-S/M/UPA Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti 17. Tindak Lanjut Hasil Akreditasi Hasil akreditasi ditindaklanjuti oleh Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Penyelenggara sekolah guna kepentingan peningkatan mutu sekolah B. EVALUASI DIRI 1. Pengertian Evaluasi Diri Upaya sistematis untuk mengumpulkan, memilih dan memperoleh data dan informasi yang valid dari fakta yang dilakukan oleh sekolah yang bersangkutan, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang keadaan sekolah untuk dipergunakan dalam rangka pengambilan tindakan manajemen bagi pengembangan sekolah. 2. Tujuan Evaluasi Diri Tujuan evaluasi diri untuk mendapatkan informasi yang objektif, transparan, dan akuntabel dari sekolah yang diakreditasi. 3. fungsi Evaluasi Diri Fungsi evaluasi diri adalah sebagai penilaian pertama untuk menentukan kelayakan sekolah dibandingkan dengan standar kelayakan nasional 4. Manfaat Evaluasi Diri (a) membatu sekolah dalam perencanaan dan pengembangan lebih lanjut; (b) membantu pemerintah dalam tugas pemberdayaan sekolah; dan (c) sebagai bagian penting dari sistem akreditasi.Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kelayakan sekolah dibandingkan standar kelayakan nasional yang dijadikan pagu. Dengan mengetahui kelayakan sekolah, selanjutnya kepada sekolah yang belum mencapai tingkatan minimal dari pagu mutu, dilakukan pembinaan secara terus menerus sehingga mencapai pagu itu. 5. Bagaimana Sekolah Melaksanakan Evaluasi Diri ? Kegiatan evaluasi diri tidak boleh dilakukan secara sembarangan namun harus berdasarkan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, agar diperoleh data evaluasi diri yang akurat dan objektif, maka kepala sekolah perlu melakukan koordinasi untuk melakukan pengisian instrumen evaluasi diri. Sebaiknya di sekolah di bentuk Tim Evaluasi Diri yang bertugas untuk mendata dan menyiapkan berbagai bukti fisik yang diperlukan guna mendukung pengisian instrumen evaluasi diri.Pengisian instrumen evaluasi diri dapat disesuaikan dengan kebutuhan waktu, namun tidak melewati batas waktu yang telah ditentukan. Setelah pengisian instrumen evaluasi diri, sekolah harus menyerahkan kembali instrumen tersebut dengan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan. Di samping itu, sekolah harus mengisi Surat Pernyataan bermaterai yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Apabila skor evaluasi diri kurang dari 56, maka BAN-S/M tidak akan melakukan visitasi dan dokumen evaluasi diri akan dikembalikan pada sekolah yang bersangkutan untuk diperbaiki hingga mencapai minimal skor 56. 6. Rancangan Instrumen Evaluasi Diri Instrumen Evalusasi Diri untuk setiap jenjang dan jenis sekolah terdiri dari :dua bagian utama, yaitu : Bagian pertama tentang butir-butir soal untuk mengungkap sembilan komponen sekolah, baik komponen utama maupun komponen tambahan yang akan diperhitungkan untuk menentukan skor hasil akreditasi. Terdiri dari 185 butir pernyataan, bersifat dikotomis ( Ya=1) dan (Tidak=0), setiap komponen memiliki bobot yang berbeda, skor butir untuk pernyataan terbuka jika tidak diisi diberi skor 0 dan jika diisi diberi skor 1, dan setiap butir memiliki skor maksimal = 1. Setiap komponen disertai dengan data tentang analisis kelemahan dan kekuatan masing-masing komponen Bagian kedua berupa isian data penunjang tentang keadaan sekolah. Data ini hanya merupakan penunjang atas data yang tercantum pada Bagian Pertama dan tidak akan diolah menjadian skor akreditasi 7. Teknik Skoring Instrumen Evaluasi Diri Menghitung skor komponen utama :Jumlah skor total komponen utama dibagi dengan jumlah butir komponen Utama dikali 70 %. Contoh : jumlah butir komponen I (utama) adalah 40, skor jawaban pernyataan = 30, maka skor komponen utama = 30/40 x 70 % = 0,53. Menghitung skor komponen tambahan : Jumlah skor jawaban komponen tambahan dibagi dengan jumlah butir komponen tambahan dikali 30 %. Contoh : jumlah butir komponen tambahan) adalah 15, skor jawaban pernyataan = 10, maka skor komponen tambahan = 10/15 x 30% = 0,19 Menghitung untuk mendapatkan nilai ratusan : Jumlahkan skor komponen utama dan tambahan pada masing-masing komponen, kemudian dikalikan 100. Contoh : skor komponen utama = 0,53 Skor komponen tambahan = 0,19, maka skor komponen total = (0,53+0,19) x 100 = 72 Menghitung nilai akhir evaluasi diri : Nilai komponen dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Setelah itu dijumlahkan dan dibagi dengan 100 untuk mendapatkan nilai ratusan. 8. Penentuan Klasifikasi Peringkat Akreditasi Sekolah Untuk menentukan klasikasi peringkat akreditasi, selanjutnya nilai akhir dibandingkan dengan kritria berikut ini :A (Amat Baik) dengan nilai 86 -100, B (Baik) dengan niali 71 – 85, C (Cukup) dengan nilai 56 -70. Tidak terakreditasi jika kurang dari 56 B. VISITASI 1) Pengertian Visitasi Visitasi adalah kunjungan tim asesor ke sekolah dalam rangka pengamatan lapangan, wawancara dengan warga sekolah, verifikasi data pendukung, serta pendalaman hal-hal khusus yang berkaitan dengan komponen dan aspek akreditasi. 2) Tujuan Visitasi a. meningkatkan keabsahan dan kesesuaian data/informasi; b. Memperoleh data/informasi yang akurat dan valid untuk menetapkan peringkat akreditasi; c. memperoleh informasi tambahan (pengamatan, wawancara, dan pencermatan data pendukung); dan d. mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun, dengan berpegang pada prinsip-prinsip: obyektif, efektif, efisien, dan mandiri. 3) Pelaksana Visitasi Pelaksana Visitasi adalah asesor yang memiliki persyaratan dan kewenangan, sbb a. memiliki kompetensi, integritas diri dan komitmen untuk melaksanakan tugasnya; b. berpengalaman minimal 5 tahun dalam pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan, c. kualifikasi pendidikan minimal D3/Sarmud (TK/SD), dan S1/sederajat (SMP dst); d. memahami dan menguasai konsep/prinsip akreditasi termasuk mekanisme visitasi; e. telah mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh BAS/BAN-SM f. bertanggung-jawab untuk melaksanakan tugasnya sesuai prosedur dan norma.; g. bertanggung-jawab terhadap kerahasiaan hasil visitasi, dan melaporkannya secara obyektif ke BAN-SM; h. memiliki wewenang untuk menggali data/-informasi dari berbagai sumber di sekolah; i. diangkat sesuai surat tugas (waktu), dan dapat diangkat kembali (jika layak dalam tugas tsb). 4) Proses Visitasi Proses visitasi merupakan rangkaian pelaksanaan akreditasi yang melekat dengan fungsi evaluasi diri dan sekolah diharapkan untuk senantiasa menjamin kelengkapan dan ketepatan data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan akreditasi sekolah Visitasi dilaksanakan oleh Tim yang terdiri dari dua orang Asesor.. Agar visitasi berjalan sesuai dengan tujuannya, sehingga dapat mendukung hasil akreditasi yang komprehensif, valid, dan akurat, serta dapat memberikan manfaat, maka kegiatan visitasi harus mengikuti tata cara pelaksanaan yang baku. Visitasi dilaksanakan jika suatu sekolah dinyatakan layak berdasarkan penilaian evaluasi diri. Visitasi dilaksanakan segera (maksimal 5 bulan) setelah sekolah mengirimkan evaluasi diri. 5) Tata Cara Visitasi a. Persiapan; Untuk pelaksanaan visitasi, BAP-S/M/UPA menunjuk dan mengirimkan asesor. Asesor diangkat oleh BAP-S/M /UPA untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan mekanisme, prosedur, norma, dan waktu pelaksanaan yang telah ditetapkan; b. Verifikasi data dan informasi Asesor datang ke sekolah menemui Kepala Sekolah menyampaikan tujuan dari visitasi, melakukan klarifikasi, verifikasi dan validasi atau cek-ulang terhadap data dan informasi kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan klarifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan dengan cara membandingkan data dan informasi tersebut dengan kondisi nyata sekolah melalui pengamatan lapangan, observasi kelas, wawancara. c. Klarifikasi Temuan Tim asesor melakukan pertemuan dengan warga sekolah untuk mengklarifikasi berbagai temuan penting atau ketidak sesuaian yang sangat signifikan antara fakta lapangan dengan data/informasi yang terjaring dalam instrument evaluasi diri. d. Penyusunan dan Penyerahan Laporan Asesor menyusun perangkat laporan, baik individual maupun tim yang terdiri dari (1) tabel pengolahan data; (2) instrumen visitasi, (3) rekomendasi atas temuan, dan (4) berita acara visitasi untuk selanjutnya diserahkan kepada BAP-S/M /UPA. 6) Tata Krama Pelaksanaan Visitasi Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata krama sebagai berikut
Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata tertib sebagai berikut :
Membuat soal bagi seorang guru merupakan tugas pokok yang menjadi tanggungjawab seacara profesional maupun moral. Bentuk dan macam soal banyak sekali, namun yang menjadi primadona bagi sebahagian pendidik adalah menggunakan soal tertulis. untuk membuat soal semacam ini dibutuhkan tata cara penulisan dan penyusunan serta ketentuan lain yang akan membimbing siswa bersama guru mencapai tujuan pendidikan kita. berikut ini dapat di lihat panduan penulisan soal dan instrumen penilaian untuk ujian sekolah bidang SMK.
|